Ini
kampus ku. Aku duduk di lobby dengan beberapa mahasiswa lainnya. Di sudut itu,
di bawa tangga ada sesosok laki-laki tua. Beliau berdiri dengan beberapa sepatu
yang ia tata di sebuah meja. Beberapa sepatu laki-laki kulit. Entah dari mana ia
mempunyai ide berjualan disini. Tapi setidaknya tidak ada larangan dari kampus,
dan aku merasa salut karena peduli akan hidup seseorang.
Aku
duduk di lobby sudah lebih dari dua jam, entah bapak tua itu sejak kapan berdiri
seperti itu. Seakan menahan malu dan ego seorang manusia. Mungkin dia
kesampingkan dari mata-mata yang meliriknya sebelah mata dan iba.
“perut
ku, perut istriku, perut anakku dan semua keluargaku tidak memakan omong kosong
mereka. Yang hanya menghina dan iba sedang mereka menghabiskan uang orang tua
mereka”.
Kau
tau itu yang sedang berusaha aku pikirkan kata-kata seperti itu mungkin yang
tersirat di balik raut wajah tuanya. Dulunya, Beliau sungguh sangat ingin
sekolah apalagi kuliah, sama halnya seperti mimpi ku juga mimpi seluruh
negeriku. Beliau juga ingin mendapatkan pekerjaan yang memberikan penghasilan
tetap. Tapi ia tinggallah ia.
“Sudahlah.
Aku dari keluarga sederhana yang bahkan di sebut dengan kata miskin yang
menyakitkan. Setidaknya aku tak pernah miskin akan tawa kebahagiaan meskipun aku
membanting tulang”.
Sepatunya
belum juga laku. Dan hanya beberapa dosen sesekali menghampirinya. Entahlah apa
yang mereka perbincangkan. Mungkin hanya sekedar bertanya.
Semoga
sepatu Bapak cepat laku. Aku di sudut lain dari ruangan yang sama berdoa entah
untuk apa. Aku hanya memberikan doa saja. Terima kasih Tuhan, hari ini aku
belajar bagaimana satu kehidupan lagi. Bagaimana kerja keras dengan mengenal
beliau seorang suami dari istrinya dan bapak untuk anak-anaknya. Seorang manusia
lain yang ramah, kalem seperti wajarnya orang jawa. Seorang pekerja keras dan
berusaha tanpa harus meminta-minta. Aku salut dan begitu salut, diantara mereka
yang lelah dan putus asa masih saja ada yang berjuang tanpa menyerah pada kata
meminta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar